Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Hak Konstitusional Dan Hukum Positif
DOI:
https://doi.org/10.62976/ijijel.v3i3.1300Keywords:
Perkawinan beda agama, hukum Islam, hukum positif, fatwa MUI, Kompilasi Hukum Islam (KHI)Abstract
Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebagai lembaga sosial keagamaan yang berperan memberikan solusi terhadap persoalan umat Islam, telah mengeluarkan Fatwa Nomor 4/MUNAS/VII/MUI/8/2005. Fatwa tersebut menegaskan bahwa pernikahan beda agama hukumnya haram dan tidak sah. Bahkan, menurut pendapat qaul mu’tamad, pernikahan antara laki-laki Muslim dan perempuan Ahli Kitab juga termasuk dalam kategori pernikahan yang tidak sah dan haram. Dalam konteks hukum positif di Indonesia, ketentuan mengenai larangan pernikahan beda agama tercermin dalam berbagai peraturan, seperti Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, serta Pasal 4 dan Pasal 40 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pasal-pasal tersebut menekankan bahwa sahnya suatu perkawinan harus sesuai dengan syariat Islam, dan secara eksplisit melarang pernikahan antara individu yang tidak beragama Islam. Artinya, pernikahan antara pria Muslim dan wanita non-Muslim tidak diakui secara hukum dan dianggap batal demi hukum.Dengan demikian, baik dari perspektif hukum Islam maupun hukum positif Indonesia, pernikahan beda agama tidak memiliki legitimasi hukum. Hal ini mencerminkan komitmen negara untuk menjaga kesesuaian antara pelaksanaan perkawinan dan prinsip-prinsip agama, sekaligus menunjukkan bagaimana hukum nasional berupaya menjaga ketertiban sosial dan nilai-nilai religius dalam institusi keluarga.
Downloads
Published
Issue
Section
License

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.